Rabu, 01 Juli 2009

REDD Sejarah

Mohamad Rayan. Desk Researcher.

RI Bidik 4 Target dalam Konferensi Perubahan IklimFitraya Ramadhanny - detikNews

Bogor - Indonesia menargetkan 4 hal dalam konferensi perubahan iklim di Bali pada Desember nanti. Salah satunya dana insentif bagi negara berkembang untuk memelihara hutannya.

Menurut kepala delegasi Indonesia dalam Informal Ministerial Meeting on Climate Change, Emil Salim, pertemuan pada 24-25 Oktober 2007 di Istana Bogor berjalan dengan penuh keterbukaan. Para delegasi membangun kesepahaman untuk mengantisipasi perubahan iklim. "Ada trust building. Semua sepakat ada kepentingan untuk bertindak," kata Emil dalam jumpa pers di Istana Bogor, (25/10/2007).

Emil menjelaskan, Indonesia menargetkan agar Bali Road Map yang akan menjadi panduan dunia mengatasi perubahan iklim dapat tercapai Desember nanti. Pertemuan di Bogor mengisyaratkan dukungan ini. Target lainnya adalah adanya suatu badan yang disiapkan untuk transfer teknologi dari negara maju untuk negara berkembang. "Anda punya teknologi apa, kasih tahu kami, dan hutan kami akan menyerap karbon dari negara Anda," kata Emil memberi ilustrasi. Hal ini terkait dengan target ketiga agar negara maju menyediakan pendanaan bagi negara berkembang untuk memelihara hutan, sehingga emisi karbon berkurang. "Kita bukan minta uang. Kita mengantisipasi efek rumah kaca bukan karena dibayar, tapi agar pulau kita tidak tenggelam dan padi kita tidak rusak akibat perubahan iklim," tegas Emil. Mekanisme implementasi adaptation fund diharapkan dapat dilakukan pada 2008. Indonesia juga menargetkan agar pilot project Reducing Emission from Deforestation in Developing Countries (REDD) dapat disepakati. "Sebab negara berkembang paling merasakan dampak perubahan iklim," pungkas Emil. (

Senin, 05/11/2007 12:54 WIBRI Bisa Raup Dana Kompensasi US$ 2 Miliar dari HutanFitraya Ramadhanny - detikNews

Jakarta - Hutan Indonesia berpotensi menyerap gas karbon dunia senilai US$ 2 miliar per tahun. Pemerintah berkomitmen menggolkan dana kompensasi pengurangan emisi karbon itu dalam UNFCC di Bali, Desember 2007. "Indonesia berpotensi menyerap pasar karbon sebesar US$ 2 miliar per tahun," kata pakar kehutanan dari Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA), Rizaldi Boer, dalam lokakarya di Departemen Kehutanan, Jakarta, Senin (5/11/2007). Menurut dia, RI perlu memperjuangkan proposal pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Artinya, negara maju harus membantu kompensasi karena negara berkembang telah menjaga hutannya. "Sampai saat ini tidak ada mekanisme intensif yang diberikan untuk upaya pencegahan konversi dan kerusakan hutan," ujarnya. Ketua Delegasi Indonesia untuk COP13 UNFCC, Emil Salim, mengatakan mekanisme REDD adalah solusi yang adil karena negara berkembang telah mengorbankan kepentingan ekonominya dari hutan untuk mengurangi polusi di negara maju. "Rencananya hutan perlu dijaga supaya tidak ditebang, sekarang rakyat dikasih duit untuk pelihara hutan," kata Emil. Menhut MS Kaban menambahkan, rakyat Indonesia harus diuntungkan dari dana kompensasi REDD yang akan diperjuangkan di Bali. Kaban percaya angka US$ 2 miliar masih bisa ditingkatkan lagi. "Itu perkiraan sementara mungkin masih bisa lebih besar lagi," ujarnya. (aan/nrl)

Pengurangan Emisi Karbon Tak Boleh Ganggu Hutan IndustriFitraya Ramadhanny - detikNews

Jakarta - Indonesia harus menjaga keutuhan hutan untuk mengurangi emisi karbon. Namun di sisi lain ada hutan tanaman industri (HTI) yang harus diolah. Dua kepentingan ini tidak boleh bertabrakan. "Skema REDD (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) jangan menjadi kontra produktif untuk program hutan tanaman industri," kata Menhut MS Ka'ban dalam jumpa pers lokakarya Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA) di kantornya, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Senin (5/11/2007). Menurut Ka'ban, HTI dan hutan tanaman rakyat (HTR) diperlukan dalam pembangunan. Jika pengolahan hutan mengoptimalkan HTI dan HTR, hutan alam justru akan terjaga. "Perlu ada pemahaman definisi mengenai deforestasi dan degradasi," ujarnya. Di tempat yang sama, ketua delegasi Indonesia untuk COP13 United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC, Emil Salim, mengatakan hal senada. Upaya pengurangan emisi karbon dan pengolahan HTI dan HTR bisa berjalan seiring. "HTI tetap ada, selama itu bukan deforestasi, itu tetap berjalan," ujar eks Menteri KLH ini. (umi/nrl)

Selasa, 13/11/2007 16:56 WIBMasyarakat Belum Paham REDDFitraya Ramadhanny - detikNews

Jakarta - Dana kompensasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) akan diperjuangkan Indonesia dalam konvensi UNFCCC di Bali, Desember nanti. Namun banyak masyarakat yang belum memahaminya. "REDD bukan kegiatan penanaman pohon, tapi mekanisme insentif yang diberikan dari upaya pencegahan konversi hutan," kata Kabalitbang Dephut Wahjudi Wardoyo, dalam jumpa pers di restoran Front Row, Senayan, Jakarta, Selasa (13/11/2007). Dana kompensasi ini akan dihitung dari berapa banyak gas karbon yang berhasil ditekan dengan menjaga kelestarian hutan. Indonesia berpeluang meraih US$ 2 miliar per tahun jika REDD lolos dalam UNFCCC. "Ini kontrak unit per unit, stake holders mulai dari pemda, HPH dan masyarakat punya peluang mendapatkan dana, tapi mereka bertanggung jawab jika melanggar kesepakatan yang ada," lanjut pria yang menjadi Koordinator Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA) ini. Wahjudi menjelaskan REDD akan diterapkan untuk 5 jenis hutan yaitu hutan konservasi, hutan alam produksi, hutan tanaman industri (HTI), lahan gambut dan hutan konversi kelapa sawit. Namun, hutan produksi, HTI dan kelapa sawit tetap bisa dimanfaatkan. "Manipulasi manusia tetap dibolehkan tapi terbatas. Kalau misalnya dulu 1.000 hektar HTI bisa dihabiskan, nanti dengan REDD disisakan 100 hektar," jelasnya. Implementasi kebijakan REDD, menurut Wahjudi, akan menjadi kunci kesuksesan program ini. Kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia akan ditentukan di sini. "Masalah kehutanan adalah pemerintahan yang lemah, masyarakat yang lemah dan kelompok bisnis yang berani ambil risiko. Pemantauan diperlukan untuk membuktikan telah terjadi penurunan emisi dengan REDD," pungkasnya. (fay/nrl)

Kamis, 06/12/2007 10:19 WIBRugikan Masyarakat Adat, Aktivis Tolak REDDGede Suardana - detikNews

Nusa Dua - Para aktivis yang tergabung dalam Civil Society Forum (SCF) menolak program dana kompensasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Mereka mendesak Indonesia mengajak negara maju menjalankan pengurangan emisi melalui program jeda tebang hutan.Penolakan itu dilakukan dalam bentuk aksi long march yang dilakukan sekitar 30 aktivis yang tergabung dalam CSF, pukul 09.00 wita. Long march ini menempuh jarak 1 km dari bundaran kawasan Nusa Dua menuju kampung CSF dengan melewati lokasi konferensi Climate Change, di BICC (Bali International Convention Centre), Nusa Dua, Bali, Kamis (6/12/2007).Para aktivis melakukan aksi jalan kaki sambil bernyanyi dan berorasi. Bahkan, aksi unik dilakukan sekitar 10 orang, yaitu berjalan miring sepanjang trotoar. Tujuannya, agar tulisan yang menempel pada punggung mereka di baca oleh para delegasi yang melintas di kawasan ini saat menuju BICC. Tulisan bercat putih ini bertuliskan, "Say No REDD!".Meskipun aksi ini dilakukan oleh segelintir aktivis, namun mendapatkan mengawalan ketat dari sekitar 50 aparat keamanan. Polisi ikut berjalan mengawal mereka hingga tiba di kampung CFS. Eksekutif Walhi Riza Damanik kepada detikcom mengatakan, REDD akan merugikan masyarakat adat. Ia menjelaskan, pengurangan emisi melalui REDD akan mengubah fungsi hutan hanya menjadi penyerap karbon."Hutan kita sangat luas dan memiliki fungsi sosial, ekonomi dan ekologi. Kalau REDD dilaksanakan maka masyarakat adat tidak akan mendapatkan manfaat dari fungsi hutan,"katanya.Walhi mendesak agar pemerintah tidak menandatangi perjanjian REDD. "Pemerintah seharusnya mengajak dunia melakukan program jeda hutan bukan melakukan program REDD,"jelasnya.Rencananya, Menteri Kehutanan bersama Gubernur Aceh dan Gubernur Papua akan meluncurkan Readinnes REDD di hotel Ayodhya, Nusa Dua, pukul 11.30 wita, Kamis (6/12/2007). (gds/iy)

Kamis, 06/12/2007 12:53 WIBKonferensi Perubahan Iklim REDD Resmi DiluncurkanArfi Bambani Amri - detikNews

Nusa Dua - Indonesia secara resmi melaunching program Reducing Emissions from Deforestration Degradation (REDD). Launching dilakukan Menteri Kehutanan MS Kaban di Nusa Dua, Bali."Hari ini kita melakukan launching REDD," kata Kaban dalam jumpa pers usai launching di Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, Kamis (6/12/2007).Launching ini sebagai upaya mendorong negara-negara yang masuk dalam annex 1 untuk memberikan insentif bagi negara yang menjaga kelestarian hutan. "Namun sifatnya masih sukarela," imbuh Kaban.Tawaran Indonesia dalam REDD ini akan disertai metodologi, definisi pasar karbon, masalah pembayaran dan pilot project. "Departemen Kehutanan sudah melakukan studi yang didukung negara-negara donor untuk pilot project ini," kata Kaban.Program REDD akan berlangsung mulai pertengahan 2008 sampai 2012. "Kita berharap sebelum akhir komitmen, Indonesia sudah mendapatkan hasil dari komitmen," tandas Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu.Launching ini dihadiri juga oleh Menneg LH Rachmat Witoelar, Emil Salim, Direktur Climat Change Kementerian Lingkungan Inggris Henry Derwent, Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur NAD Irwandi Yusuf. (aba/asy)

Kamis, 06/12/2007 13:06 WIBRachmat Janji Kekhawatiran Aktivis Soal REDD Tak TerjadiGede Suardana - detikNews

Jakarta - Para aktivsi menolak program dana kompensasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Mereka khawatir program itu akan merugikan masyarakat adat. Meneg Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar berjanji kekhawatiran itu tidak bakal terjadi. Hal itu disampaikan Rachmat saat berdialog dengan para aktivis lingkungan di Balai Banjar Kauh, Kampung Civil Society Forum (CSF), Nusa Dua, Bali, Kamis (6/12/2007). Para aktivis lingkungan yang hadir dalam acara itu antara lain berasal dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Pemuda Indonesia, Solidaritas Perempuan Peduli Lingkungan, petani, nelayan dan aktivis asing. Sejumlah poster berisi protes dan kritik mewarnai diskusi tersebut. Poster antara lain bertulisakan, "Tidak akan ada keadilan iklim tanpa keadilan gender" dan "RI jangan dijadikan TPS (tempat pembuangan sampah dunia)".Dalam diskusi itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyatakan keberatannya terhadap REDD. Mereka khawatir program itu akan merugikan masyarakat adat. "Penyelamatan hutan tidak akan berhasil jika menghilangkan hak-hak masyarakat adat," tandas salah seorang aktivis dari Masyarakat Adat Nusantara.Pemuda Indonesia menyampaikan petisi agar negara maju penghasil emisi menurunkan emisi demi kesetaraan dan keadilan iklim. Negara maju diminta berinisiatif mengurangi emisi dengan mengubah gaya hidup konsumtif. "Negara maju jangan memindahkan tanggungjawabnya pada negara berkembanhg,"kata salah satu akstivis perempuan.Menanggapi kekhawatiran para aktivis itu, Rachmat menegaskan perlunya negara maju membayar utang dan dosa-dosanya telah menghasilkan emisi terbesar sehingga menyebabkan pemanasan global. "Saya akan jaga kekhawatiran anda, untuk itu kita minta dukungan saudara untuk memperjuangkan ini," tandas Rachmat. (iy/iy)

Kamis, 06/12/2007 13:49 WIBKaban: Daerah Dapat yang Terbesar dari REDDArfi Bambani Amri - detikNews

Jakarta - Program dana kompensasi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) merupakan program pemerintah. Namun, Menteri Kehutanan MS Kaban menyatakan, komitmen terbesar justru akan dinikmati daerah."Prinsipnya, pemerintah adalah yang membuat regulasi namun semuanya mendapat kontribusi. Kita berharap pemerintah daerah yang mendapatkan yang terbesar," kata Kaban dalam jumpa pers usai launching REDD di Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, Kamis (6/12/2007).Kaban menambahkan, daerah berhak mendapat bagian terbesar karena di sanalah hutan itu berada. Masyarakat lokal yang menjaga hutan, melalui pemerintah daerah, tentu yang paling berhak mendapat keuntungan dari REDD.Pemerintah akan memperjuangkan hak Indonesia untuk setiap ton karbon yang dijaga melalui pelestarian hutan. Sejauh ini, beberapa negara seperti Inggris, Australia, Jerman dan Bank Dunia sudah menyepakati program ini."Tapi saat ini kita belum menerima komitmen dari negara-negara yang tergolong annex 1," imbuh Kaban.Program REDD ini diharapkan akan menghasilkan kesepakatan antara 5-10 triliun dolar Amerika Serikat. "Tapi ini nanti akan terbagi antara negara-negara pemilik rain forest," tandasnya.(aba/iy)

Selasa, 11/12/2007 00:09 WIBDelegasi Indonesia Dapat SurpriseFitraya Ramadhanny - detikNews

Jakarta - Delegasi Indonesia mendapat surprise dengan bingkisan yang menguntungkan. Mereka telah berhasil menggulirkan pertemuan paralel menteri keuangan dan perdagangan dalam Konferensi Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali.Hal ini disampaikan Presiden Country of Parties (COP) Rachmat Witoelar dalam jumpa pers usai rapat di Hotel Four Season, Jimbaran, Bali, Senin (10/12/2007)."Kita merasa surprise pertemuan paralel menteri keuangan dan perdagangan, yang belum ada dalam COP terdahulu diminati wakil seluruh dunia lebih dari yang diharapkan," kata Rachmat Witoelar.Menurut pria yang menjabat sebagai Menteri Lingkung Hidup ini, dana kompensasi hutan tropis (REDD) pada dasarnya telah diterima semua pihak. Namun masih ada delegasi yang ingin menyampaikan keberatan."Yang keberatan akan menyampaikannya ke presiden COP besok," ujarnya.Dalam kesempatan ini, salah satu pimpinan delegasi Indonesia, Makarim Wibisono, menambahkan dana adaptasi (adaptation fund) juga telah disepakati. Dana itu dibutuhkan oleh negara-negara yang memerlukan bantuan untuk mengatasi perubahan iklim."Sudah disepakati ada adapatation fund untuk membiayai langkah-langkah menghadapi perubahan iklim," imbuhnya.Sementara Jubir Kepresiden Andi Mallarangeng menjelaskan, dalam rapat kabinet terbatas tadi SBY meminta presiden COP dan delegasi Indonesia berkomunikasi dengan segala pihak untuk memastikan hasil nyata dari Bali Road Map."Presiden mengatakan kalau perlu presiden bersedia bertemu dengan pemimpin negara lain untuk memuluskan poin-poin konsensus baru," pungkasnya.(mly/mly)

Selasa, 11/12/2007 16:57 WIBPengelolaan Hutan Lestari Serap C02 Paling Sedikit RisikoAri Saputra - detikNews

Nusa Dua - Banyak solusi untuk menyerap emisi karbon yang terus meningkat. Salah satunya adalah sistem pengelolaan hutan lestari atau sustainable forest management (SFM) . Dengan sistem ini, hutan dipertahankan keberlangsungannya tanpa menghilangkan fungsi ekonominya."Cara itu (sustainable forest management) yang paling relevan. (Misalnya), kami tetap menanam pohon 60.000 hektare pertahunnya. Itu bisa menyerap CO2," kata Direktur Sustainability Riaupulp, Neil Franklin di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim (UNCCC) di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/12/2007).Dia menegaskan, pihaknya berkomitmen menjaga hutan Indonesia dari kepunahan. Karena itu ia memilih SFM atas alasan yang paling sedikit resiko. Meski dia tetap memperhatikan kritik dari LSM atas solusi tersebut."Kami tetap menghormati pendapat mereka. Tapi, kita berkomitmen untuk itu (SFM). Dengan dukungan pemerintah dan masayarakat, semuanya masih dapat memanfaatkan hutan dengan maksimal," tegasnya.Menurutnya, pilihan terhadap SFM sejalan dengan REDD yang telah dicanangkan Jumat pekan lalu. "REDD telah diluncurkan. Dan itu membuka jalan untuk sustainable solution," pungkasnya.(Ari/iy)

Kamis, 13/12/2007 10:51 WIBNegara Maju Sepakati Dana REDD, Road Map Dibuat 2008Ari Saputra - detikNews

Nusa Dua - Semua negara maju, kecuali Amerika Serikat (AS) telah sepakat memberikan kompensasi dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). Untuk realisasinya akan dibuat rencana jalan besar (Road Map) tahun depan yang melibatkan lembaga riset, tidak hanya pemerintah dan non-pemerintah (NGOs).Demikian disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) Hasan Wirayuda usai Sarapan Bersama dengan 32 negara untuk mengorganisir penyelamatan hutan troopik, di BICC Nusa Dua bali, Kamis (13/12/2007).Pertemuan pagi ini merupakan kelanjutan pertemuan negara F-11 dan negara-negara maju hari kemarin. Pertemuan yang digagas Indonesia ini diikuti oleh 32 negara. Dalam pertemuan ini, gagasan Indonesia untuk mengorganisir negara-negara maju dan negara pemilik hutan tropis mendapat sambutan.Dari negara maju ada Jerman, Norwegia, AS, Inggris, Portugis, Uni Eropa. Sementara Negara pemilik hutan tropis seperti dari Brazil, Papua Nugini, dan Bagon. Negara-negara ini sepakat bahwa hutan sebagai upaya mencegah perubahan iklim. Semua negara sudah satu visi bahwa harus ada solusi untuk mengatasi degradasi hutan untuk berkontribusi mengurangi emisi karbon."Disepakati akan membuat rencana jalan besar (Road Map) tahun depan yang melibatkan lembaga riset, tidak hanya pemerintah dan non-pemerintah (NGOs). Kita tidak perlu menunggu sampai komitmen Protokol Kyoto berakhir 2012, tapi komitmen kehutanan bisa dimulai dari sekarang," kata Hassan.US$ 500 Juta Per TahunDituturkan Hassan, salah satu komitmen negara maju dari Norwegia akan memberikan insentif US$ 500 Juta pertahun untuk kerjasama di bidang kehutanan.Indonesia sendiri berpotensi untuk menyerap kompensasi dan mengelola hutan secara nasional lewat Sustainable Forest Management (SFM)".Hal senada juga disampaikan Menhut MS Kaban. Menurut Kaban, semua negara telah sepakat terhadap upaya pencegahan deforestasi. Deforestasi ini untuk semua jenis hutan,tidak hanya hutan konservasi melainkan hutan lindung dan produksi. "Ketika memulihkan hutan semua dapat kompensasi. Semua dapat "keseluruhan. Ini didukung oleh Jerman, Jepang dan Perancis," kata Kaban. Inggris telah memberikan penilaian positif, bahwa usaha penilaian usaha perbaikan hutan di Inonesia sudah maju. Degradai hutan dari 2,8 juta ha/ tahun menjadi 1,08 juta ha pertahun.APBD seluruh daerah meningkat 800 persen menjadi US$ 1 M pertahun."Ini perubahan sangat drastis. Pertemuan lanjutan untuk mencegah degradasi akan dilanjutkan tahun depan," tandas Kaban.Namun sayangnya meski semua negara maju telah sepakat terhadap REDD, Amerika Serikat tetap dengan pendiriannya. "Dia belum berubah," kata Kaban.(iy/iy)

Kamis, 13/12/2007 15:26 WIBUNCCC Terancam DeadlockAri Saputra - detikNews

Nusa Dua - Meski konferensi perubahan iklim (UNCCC) tinggal sehari, gelagat dead lock kembali mengemuka. Persoalan transfer teknologi dan investasi menjadi batu sandungan antara negara maju dengan negara berkembang."Nggak harus diselesaikan di sini (di konferensi Bali). Bisa tahun depan (Denmark), ataupun di Polandia (2009), "kata Ketua Delegasi Indonesia Emil Salim di sela-sela perundingan UNCCC di BICC, Nusa Dua Bali, Kamis (13/12/2007).Saking alotnya perundingan tersebut, negosiasi berjalan hingga dinihari. Negara maju masih menimbang-nimbang mekanisme transfer teknologi karena terkait dengan hak cipta dan kemampuan SDM negara-negara miskin. "Tapi, minimal sudah ada peta jalan (road map) perubahan iklim yang akan dilanjutkan," imbuhnya.Namun, sejauh ini perundingan telah menghasilkan beberapa kesepakatan. Misalnya soal mitigasi, REDD dan deforestasi."Tinggal masalah redaksional yang masih perlu dirumuskan,"pungkasnya.Lantas Emil kembali bergegas ke arena sidang. Ia terlihat terburu-buru dan tegang, agak berbeda dari hari-hari sebelumnya yang santai dan ramah. (Ari/iy)

Jumat, 14/12/2007 09:16 WIBSBY Panggil 7 Gubernur Pemilik HutanFitraya Ramadhanny - detikNews

Jimbaran - Presiden SBY memanggil sejumlah gubernur dari Sumatera, Kalimantan, Papua dan Bali. SBY meminta sang gubernur berperan aktif menjaga hutan.Gubernur yang dipanggil adalah Gubernur Bali Made Beratha, Gubernur NAD Irwandi Yusuf, Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Gubernur Kalimantan Selatan Teras Narang, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Papua Barat Abraham Octovianus Atururi.Selanjutnya, Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur.Pertemuan berlangsung di tempat SBY menginap di Hotel Four Seasons, Jimbaran, Bali, Jumat (14/12/2007) pukul 09.45 Wita. SBY didampingi Mendagri Mardiyanto, Menhut MS Kaban, Menko Kesra Aburizal Bakrie, dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto."Saya meminta para gubernur ikut ambil bagian dari proses UNCCC dan tidak sekadar hadir di sini," kata SBY saat membuka pertemuan itu.Jika Indonesia hendak menjalankan program dana kompensasi hutan hujan (REDD) para gubernur dari provinsi yang memiliki hutan akan sangat berperan penting demi suksesnya program tersebut.Dana kompensasi REDD akan diutamakan untuk memberikan keuntungan maksimal kepada daerah.Hingga pukul 10.00 Wita, pertemuan tertutup masih berlangsung

Jumat, 14/12/2007 12:07 WIBSBY Minta Gubernur Jaga Hutan & Cegah Perubahan IklimFitraya Ramadhanny - detikNews

Jimbaran - Presiden SBY meminta para gubernur aktif mencegah pemanasan global. Caranya, dengan memelihara hutan di provinsi mereka."Presiden ingin para gubernur, bupati, dan walikota mengetahui langsung kepedulian pemerintah dan masyarakat tentang konferensi perubahan iklim," kata Jubir Kepresidan Andi Mallarangeng usai pertemuan para gubernur, di Hotel Four Seasons di Jimbaran, Bali, Jumat (14/12/2007).Menurut Andi, Presiden tidak hanya menjadi tuan rumah tapi juga aktif menjadi fasilitator untuk melahirkan Bali Roadmap. Dan SBY ingin kepedulian ini mengalir sampai kepada pemerintahan daerah."Sampai jajaran ke bawah mengerti betul apa yang harus dilakukan untuk mengurangi emisi dan menyerap karbon," ujarnya.Andi mengatakan, gubernur bisa memerintahkan jajarannya mencegah kerusakan hutan, kebakaran hutan, dan menanam pohon di mana saja. Selain itu, pemerintah berharap UNCCC dan secara khusus dana kompensasi REDD dapat disepakati "Kita harap hari ini selesai dan hasilnya betul-betul bermakna untuk negara kepulauan seperti kita," pungkasnya.Beberapa gubernur yang dipanggil adalah Gubernur Bali Made Beratha, Gubernur NAD Irwandi Yusuf, Gubernur Sumatera Utara Rudolf Pardede, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Gubernur Kalimantan Selatan Teras Narang, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Gubernur Papua Barat Abraham Octovianus Atururi. (mly/nrl)

Sabtu, 15/12/2007 17:48 WIBUNCCC Usai, RI Sukses Terima Dana Kompensasi REDD Fitraya Ramadhanny - detikNews

Nusa Dua - Indonesia berhasil melakukan kerja sama dana kompensasi kehutanan melalui Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Inggris misalnya siap mengucurkan dana untuk Indonesia."REDD mendapat dukungan penuh. Kita mengajak negara hutan tropis bersatu dan dapat kompensasi yang adil," kata Presiden SBY dalam jumpa pers menjelang berakhirnya Konferensi Perubahan Iklim (UNCCC) 2007 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Sabtu (15/12/2007). Dengan REDD, lanjut SBY, terjadi mekanisme yang adil. Negara hutan tropis menjaga hutannya untuk menyerap emisi karbon dari negara maju, sebaliknya negara maju memberikan bantuan dana kepada negara hutan tropis. "Ada hitungan ekonominya, transfer teknologi. Kita mendapat untung dari pengaturan reforestasi ini," kata SBY yang terlihat gembira, meski tampak lelah. Menurut SBY, negara Inggris menjadikan Indonesia sebagai kandidat kuat mendapatkan US$ 30 juta melalui Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Inggris juga telah menyiapkan US$ 1,6 miliar melalui Environmental Transformation Fund (ETF) untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Sedangkan Inggris pada 2007 telah memberikan US$ 500.000 untuk mendukung kerja Indonesia Forest Climate Alliance dan memberikan komitmen US$ 10 juta untuk mendukung multistakeholder forestry program. Dengan suksesnya REDD, pemerintah akan menjalankan manajemen pengolahan hutan dengan lebih baik. "Hutan tanahamn industri (HTI) tetap ada, namun konservasi tetap dilakukan. Para gubernur telah melaporkan kepada saya konsep untuk menjaga hutan. Hutan tidak dirusak, tapi tetap bisa digunakan," jelas SBY. Konferensi Perubahan Iklim masih menggelar pertemuan hingga pukul 18.45 Wita. Pertemuan hanya menyusun redaksi deklarasi Bali Road Map. Konferensi akan ditutup secara resmi malam ini. (asy/asy)

Sabtu, 15/12/2007 19:38 WIBPenurunan Emisi Dibahas 2009Gede Suardana - detikNews

Nusa Dua - Bali Road Map dipastikan tidak menetapkan angka penurunan emisi karbon 25-40 persen. Penurunan emisi itu dibahas dalam pertemuan di Kopenhagen tahun 2009 nanti."Di Bali (Road Map) tidak ada pematokan range (25-40 persen) itu karena memang tidak diusahakan. Kita jaga agar itu menjadi porsi pada tahun 2009," ungkap Presiden COP 13 Rachmat Witoelar dalam jumpa pers di auditorium BICC, Nusa Dua, Badung, Bali, Sabtu (15/12/2007).Bali Road Map hanya berisi jalur-jalur menuju perundingan yang berikutnya. Target penurunan emisi, menurut Rachmat, perlu waktu untuk menghitungnya. "Tidak bisa dalam waktu singkat kita menghitung penurunan emisi. Diperlukan waktu tahunan. Untuk menghitungnya pun perlu niat dan kesepakatan," kata Menneg Lingkungan Hidup itu.Bagi Indonesia, Road Map ini memiliki 4 poin. Road Map memberikan arahan untuk pelaksanaan reducing emission from deforestation and degradation (REDD), transfer teknologi, keuangan dan adaptation plan."Kita punya Bali Road Map dan National Action Plan. Intinya menggalang kekuatan negara maju untuk mendukung kerjasama dengan negara berkembang untuk menjaga alam akibat perubahan iklim," pungkas Rachmat. (aba/aba)

Sabtu, 15/12/2007 22:06 WIBPoin-poin Bali Road MapArfi Bambani Amri - detikNews

Jakarta - The United Nations Climate Change Conference (UNCCC) 2007 berhasil melahirkan Bali Road Map. Road Map ini menghasilkan kesepakatan aksi adaptasi, jalan pengurangan emisi gas rumah kaca, transfer teknologi dan keuangan yang meliputi adaptasi dan mitigasi.Berikut poin-poin Bali Road Map, seperti disampaikan juru bicara the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) John Hay dalam pernyataan tertulis yang diterima detikcom, Sabtu (15/12/2007).

AdaptasiNegara peserta konferensi sepakat membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui clean development mechanism (CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF).Kesepakatan ini memastikan dana adaptasi akan operasional pada tahap awal periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012). Dananya sekitar 37 juta euro. Mengingat jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah mencapai sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012.

Namun negara-negara peserta belum sepakat mengenai pelaksanaan praktis adaptasi, misalnya bagaimana cara menyatukan dalam kebijakan nasional. Isu ini diagendakan untuk dibahas di pertemuan selanjutnya yang disebut Badan Tambahan untuk Saran Ilmiah dan Teknis di Bonn (Jerman) pada tahun 2008.TeknologiPeserta konferensi sepakat untuk memulai program strategis untuk alih teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah memberikan contoh proyek yang konkret, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta. Peserta juga sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Alih Teknologi selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.REDDReducing emissions from deforestation in developing countries (REDD) merupakan isu utama di Bali.

Para peserta UNCCC sepakat untuk mengadopsi program dengan menurunkan pada tahapan metodologi.REDD akan fokus pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012.IPCCPeserta sepakat untuk mengakui Laporan Assessment Keempat dari the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.CDMPeserta sepakat untuk menggandakan batas ukuran proyek penghutanan kembali menjadi 16 kiloton CO2 per tahun. Peningkatan ini akan mengembangkan angka dan jangkauan wilayah negara CDM ke negara yang sebelumnya tak bisa ikut mekanisme ini.Negara MiskinPeserta sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Negara Miskin atau the Least Developed Countries(LDCs) Expert Group. Grup ini menyediakan saran kritis untuk negara miskin dalam menentukan kebutuhan adaptasi. UNCCC sepakat negara-negara miskin harus didukung karean kapasitas adaptasinya yang rendah. (aba/aba)

Kamis, 24/07/2008 16:17 WIBPesimis Skema Perubahan Iklim Yansen - suaraPembaca

Jakarta - Perubahan iklim sudah menjadi isu utama lingkungan saat ini. Setelah lebih satu dekade lahirnya Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim masalah ini menjadi isu politik hangat. Tapi, setelah Conference of Parties (CoP) 13 di Bali Desember lalu agenda baru menghadapi perubahan iklim masih belum jelas akan ke mana. Pertemuan di Kopenhagen tahun depan diprediksi akan menjadi krusial karena Protokol Kyoto akan berakhir 2012 dan akan dibicarakan kelanjutannya. Ada satu hal yang layak dicatat dari Konferensi Para Pihak 13 di Bali tahun kemarin. Yakni diluncurkannya mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Skema ini memandang pencegahan deforestasi dan degradasi hutan merupakan bagian vital dari usaha melawan pemanasan global.Namun, banyak pesimisme yang muncul.

REDD sekali lagi dianggap sebagai politik setengah hati negara-negara maju dalam melawan pemanasan global. Hal ini bahkan lebih lanjut dianggap sebagai exit strategy negara maju mengurangi tekanan terhadap mereka untuk mengurangi laju emisi gas rumah kaca. Negara berkembang terutama yang memiliki hutan tropis dijadikan tameng menyelamatkan fossil-fuel driven ekonomi mereka. Benarkah demikian?Negara-negara maju sangat menyadari dampak dari target penurunan emisi pada ekonomi mereka. Amerika Serikat juga berdalih tidak jelasnya target bagi negara-negara berkembang. Padahal Cina dan India merupakan negara berkembang yang tigkat emisinya sudah meningkat sedemikian cepat. Cina bahkan sudah melampaui tingkat keluaran karbon Jepang. Tanpa keterlibatan negara-negara pengemisi gas rumah kaca terbesar pencegahan pemanasan global hanyalah mimpi. Masalahnya tidak ada perjanjian mengikat dalam target pengurangan emisi karbon. Walaupun dalam Conference of Parties sebelumnya negara-negara maju yang masuk dalam Annex A diminta menurunkan emisi gas buangan tapi masih bersifat aksi sukarela. PBB belum mampu memaksakan target ini sebagai sesuatu yang mengikat atau menetapkan sangsi jika tidak mengikutinya. Karenanya, Nicholas Stern, mantan ekonom kepala Bank Dunia, dalam laporan iklimnya April lalu menyerukan pemotongan signifikan emisi negara maju sampai tahun 2020.

Pemotongan ini harus bisa mencapai 80 persen pada 2050 dan bersifat mengikat, tegasnya lagi. Namun, negara-negara berkembang juga harus mengurangi keluaran gas rumah kaca dalam level yang manageable.Australia juga mengalami dilema serupa. Tak banyak berbeda dengan dengan Amerika ekonomi negara ini sangat ditunjang oleh energi yang menimbulkan polusi besar. Terutama batu bara. Bahkan, batu bara merupakan salah satu ekspor terbesar negara ini. Mencapai 20 persen dari total ekspor. Penelitian oleh Dr Michael Raupach dari CSIRO, lembaga riset Australia, menunjukkan Australia yang memiliki penduduk 0,32 persen dari total penduduk dunia memproduksi sekitar 1,43 persen dari total emisi karbon dunia. Makanya tak heran jika beberapa pihak meragukan inisiatif Australia untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam hal manajemen hutan dan perdagangan karbon yang baru lalu. Inisiatif ini dipandang sebagai strategi murah biaya mengalihkan tanggung jawab penurunan emisi dalam negeri.

kepentingan politis negara maju dalam skema REDD adalah hal yang lumrah. Tapi, jika hal ini membuat kita tak bergerak maju ke depan adalah hal yang sangat disayangkan. Sebagai negara yang mengalami banyak masalah akibat deforestasi Indonesia dapat memanfaatkan skema ini sebaik-baiknya. Kompensasi yang mungkin didapat dari pencegahan deforestasi dapat diinvestasikan untuk pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang selama ini dianggap sebagai aktor utama deforestasi. Keuntungan dari karbon kredit juga bisa membuat kita menolak proposal pengubahan status hutan menjadi peruntukan lain karena alasan ekonomis, pertambangan misalnya. Peluang-peluang penyelamatan hutan tropis Indonesia harus dimanfaatkan secara baik. Tanpa harus mematikan kemungkinan keuntungan ekonomis.Namun, langkah ini harus dipandang sebagai tindakan awal. Strategi jangka panjang harus disiapkan. Jangan mengandalkan skema yang melibatkan negara maju selamanya. Langkah pemerintah untuk membentuk Dewan Perubahan Iklim yang terdiri dari lembaga kabinet sudah merupakan awal yang baik. Penanganan masalah perubahan iklim memang harus lintas sektoral. Pengaturan mekanisme kompensasi, pembangunan infrastruktur domestik, dan rencana alokasi keuntungan karbon kredit harus disiapkan dengan baik. Disamping itu, Indonesia harus mulai merencanakan target penurunan emisi dalam negeri. Terutama dari sektor industri dan transportasi.Hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mengeksplorasi alternatif energi. Potensi panas bumi dan tenaga matahari harus dimanfaatkan. Keuntungan dari karbon kredit bisa diinvestasikan untuk mengembangkan energi alternatif ini. Ada saatnya hutan kita tidak laku lagi di pasar karbon global di masa depan.Negara-negara maju telah mendesain target pengurangan emisi mereka sendiri. Salah satunya dengan berinvestasi pada pengembangan energi alternatif. Australia, misalnya, sangat gencar mengembangkan teknologi tenaga matahari dan panas bumi.Gurun di tengah benua ini merupakan potensi besar. Karenanya banyak pihak di Australia yakin jika negara mereka bisa menurunkan emisi karbon hingga 80 persen pada tahun 2050. Energi ramah lingkungan ini bahkan ditargetkan bisa diekspor. Kalau tak siap kita akan kembali jadi pembeli.Yansen 2/84 Cambridge St. GulliverTownsville, Queenslandyansen_for@yahoo.com(61) (7) 47284956

Tidak ada komentar:

Posting Komentar